Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasiona(BKKBN) Hasto menyebut, Ibu Kota Nusantara (IKN), dapat menjadi percontohan untuk tidak melahirkan stunting baru. Untuk itu, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) wajib menjadi perhatian utama pemerintah.
Hal itu disampaikan Hasto pada acara penandatanganan kesepahaman bersama antara BKKBN dan Otorita IKN di Astara Hotel Balikpapan, Jumat (10/5). "Saya sudah sampaikan kepada pemerintah daerah setempat, bahwa caranya tidak sulit. Ketika penduduk jumlahnya 200.000, maka setiap 1.000 penduduk di sekitar IKN akan melahirkan sekitar 16 orang setiap tahunnya. Sehingga, tugas mencegah kelahiran stunting hanya kepada 3.200 orang saja untuk mencapai zero stunting," ujar Hasto.
Mengutip arahan presiden, mengenai data sasaran intervensi yang harus benar-benar detail, Hasto mengatakan, BKKBN siap mendukung IKN dengan data keluarga by name by address. Data tersebut sangat rinci, termasuk status risiko stunting. "Kami punya Tim Pendamping Keluarga di sekitar IKN. Merekalah yang setiap hari mencatat siapa yang menikah, hamil, dan melahirkan. Kalau per tahun ada 3.200 ibu hamil, maka bisa dikira-kira sebulan ada 250 ibu hamil. Per harinya tidak sampai 10 yang melahirkan di IKN," papar Hasto.
Lebih lanjut, Hasto menyebut, kalau keluarga berisiko stunting berikutnya adalah calon pengantin. Di mana, sekitar 80% yang menikah hamil di tahun pertama.
"Sebagian besar orang Indonesia menikah tujuannya prokreasi, semua ingin punya anak. Berbeda dengan negara maju, ada yang untuk rekreasi, ada juga yang menikah tujuannya security. Hanya untuk mendapatkan perlindungan karena ada suami," jelas Hasto.
Karena itulah, penting untuk setiap calon pengantin, agar sebelum menikah memeriksa status kesehatannya. Sehingga profil kesehatan di wilayah IKN bisa direkayasa. "Dalam arti rekayasa positif, 'by design', bisa kita siapkan. Dengan catatan ada aturan yang ketat, mau nikah harus periksa dan menunjukkan sertifikat kalau sudah diperiksa," katanya.
Ikhwal bonus demografi, Indonesia sebetulnya telah melewati puncaknya pada 2020 dengan dependency ratio 44 untuk nasional. Di mana, setiap 100 orang hanya menanggung 44 orang yang tidak bekerja. Kondisi ini, berbeda dengan Kalimantan Timur yang jumlah angkatan kerjanya jauh lebih banyak.